Hikayat Fir

Rabu, Agustus 13, 2008

hikayat Aceh


Kondisi Aceh

SECARA umum, kondisi di Aceh dinilai cukup baik. Beberapa catatan khusus yang patut menjadi perhatian masyarakat dan aparat keamanan, teristimewa penegak hukum yang terkait keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Ada beberapa indikator yang menjadi bukti kondisi Aceh memang cukup baik. Arus lalu lintas antara Medan ke Banda Aceh melalui jalur pantai Timur sangat lancar. Begitu pula jalur Medan ke arah pantai Selatan dan Barat. Arus perdagangan yang dilakukan pedagang menengah ke atas juga meningkat. Aktivitas pemerintahan di desa, kecamatan dan kota berjalan normal. Begitu pula aktivitas sektor lainnya. Tetapi, secara parsial memang ada sesuatu yang tergolong meresahkan bahkan cenderung disebut sebagai tidak aman. Misalnya, perampokan atau tindakan kriminal pada ruas atau daerah tertentu. Dari sisi lain, muncul pula pernyataan petinggi organisasi/lembaga dan pemerintahan, yang menjurus pada nada perbedaan pendapat yang terkesan ada semacam “konflik”.

Pernyataan yang menyebut adanya oknum tertentu yang anti MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Penyebutan terhadap pihak tertentu yang seolah-olah mengorganisir dalam melakukan tindakan kejahatan. Muncul persyaratan khusus dalam proses untuk memperoleh bantuan bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Itu semua, sebenarnya harus dihindari. Para petinggi organisasi/lembaga dan pejabat pemerintahan, sebaiknya tidak mengeluarkan pernyataan spontan yang kemungkinan akan melahirkan bias. Justru ucapan yang dinantikan adalah bernada keakraban, ajakan membangun dan terkesan sejuk. Sebab, masih ada satu-dua masalah di Aceh, pasca MoU Helsinki harus dijabarkan dengan hati-hati. Penjabaran tersebut, meski mengacu pada ketentuan atau kesepakatan yang ada, namun situasi terkini adalah penting untuk disimak, sehingga tak terjadi ucapan sinis, saling menyindir apalagi melahirkan ketidakharmonisan diantara sesama.
Kondisi di Aceh harus dijaga, sehingga tidak terjadi tindakan negatif yang menodai penjabaran MoU Helsinki maupun merusak upaya-upaya positif yang dilakukan semua pihak untuk tetap terwujudnya perdamaian dalam suasana yang benar-benar kondusif. Tingkat keamanan, kenyamanan dan keharmonisan antar pihak-pihak, harus terus menerus dipelihara. Tugas ini bukan hanya menjadi beban pihak militer dan polisi serta pemerintahan saja. Tetapi juga menjadi kewajiban masyarakat dan semua komponen yang ada di Aceh. Hanya dengan kekompakan dan kesadaran serta kemauan semua elemen yang ada untuk bertekad satu, kondisi Aceh yang diidamkan tersebut akan tercapai. Sebaliknya, kalau ada satu komponen atau satu-dua oknum dari kelompok/pihak manapun yang bersikap lain, justru kondisi di Aceh akan mengarah pada tahap labil. Kondisi yang mulai utuh tersebut, jangan sampai tercabik-cabik karena sikap pihak tertentu, termasuk perorangan. Ini harus dihindari. Menjelang usia tiga tahun MoU Helsinki, sesungguhnya bukan memperingati tanggal 15 Agustus saat ditandatangani MoU Helsinki tersebut. Tetapi hal terpenting saat ini dan ke depan, bagaimana kita semua dengan solid mewujudkan isi MoU itu. Bahkan, kondisi Aceh yang telah membaik ini kita tingkatkan. Mari kita tekan angka kriminalitas dengan berbagai cara. Masyarakat tidak terprovokasi atas ajakan negatif, merupakan langkah awal untuk memelihara kamtibmas itu. Para petinggi organisasi dan pejabat pemerintahan yang mampu menahan diri dalam berkomentar, juga menjadi modal dalam memelihara kondisi Aceh tersebut. Jangan saling menuduh. Hindari saling curiga. Mari terus bergandengtangan untuk membangun. Mari berbuat sesuatu yang terbaik untuk membangun Aceh, melalui profesi masing-masing di segala bidang. Sekali lagi, pelihara kondisi Aceh dan kendalikan diri dari pernyataan yang mungkin menjadi pemicu konflik.
http://analisadaily.com/0-7.htm



Rabu, Agustus 06, 2008

Aceh Pasca Tsunami




Kondisi Aceh


kondisi Aceh memang cukup baik. Arus lalu lintas antara Medan ke Banda Aceh melalui jalur pantai Timur sangat lancar. Begitu pula jalur Medan ke arah pantai Selatan dan Barat. Arus perdagangan yang dilakukan pedagang menengah ke atas juga meningkat. Aktivitas pemerintahan di desa, kecamatan dan kota berjalan normal. Begitu pula aktivitas sektor lainnya. Tetapi, secara parsial memang ada sesuatu yang tergolong meresahkan bahkan cenderung disebut sebagai tidak aman. Misalnya, perampokan atau tindakan kriminal pada ruas atau daerah tertentu. Dari sisi lain, SECARA umum, kondisi di Aceh dinilai cukup baik. Secara khusus, ada sejumlah hal yang patut menjadi perhatian masyarakat dan aparat keamanan, teristimewa penegak hukum yang terkait keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Ada beberapa indikator yang menjadi bukti muncul pula pernyataan petinggi organisasi/lembaga dan pemerintahan, yang menjurus pada nada perbedaan pendapat yang terkesan ada semacam “konflik”.

Pernyataan yang menyebut adanya oknum tertentu yang anti MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Penyebutan terhadap pihak tertentu yang seolah-olah mengorganisir dalam melakukan tindakan kejahatan. Muncul persyaratan khusus dalam proses untuk memperoleh bantuan bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Itu semua, sebenarnya harus dihindari. Para petinggi organisasi/lembaga dan pejabat pemerintahan, sebaiknya tak mengeluarkan pernyataan spontan yang kemungkinan akan melahirkan bias. Justru ucapan yang dinantikan adalah bernada keakraban, ajakan membangun dan terkesan sejuk. Sebab, masih ada satu-dua masalah di Aceh, pasca MoU Helsinki harus dijabarkan dengan hati-hati. Penjabaran tersebut, meski mengacu pada ketentuan atau kesepakatan yang ada, namun situasi terkini adalah penting untuk disimak, sehingga tak terjadi ucapan sinis, saling menyindir apalagi melahirkan ketidakharmonisan diantara sesama.
Kondisi di Aceh harus dijaga, sehingga tidak terjadi tindakan negatif yang menodai penjabaran MoU Helsinki maupun merusak upaya-upaya positif yang dilakukan semua pihak untuk tetap terwujudnya perdamaian dalam suasana yang benar-benar kondusif. Tingkat keamanan, kenyamanan dan keharmonisan antar pihak-pihak, harus terus menerus dipelihara. Tugas ini bukan hanya menjadi beban pihak militer dan polisi serta pemerintahan saja. Tetapi juga menjadi kewajiban masyarakat dan semua komponen yang ada di Aceh. Hanya dengan kekompakan dan kesadaran serta kemauan semua elemen yang ada untuk bertekad satu, kondisi Aceh yang diidamkan tersebut akan tercapai. Sebaliknya, kalau ada satu komponen atau satu-dua oknum dari kelompok/pihak manapun yang bersikap lain, justru kondisi di Aceh akan mengarah pada tahap labil. Kondisi yang mulai utuh tersebut, jangan sampai tercabik-cabik karena sikap pihak tertentu, termasuk perorangan. Ini harus dihindari.
Menjelang usia tiga tahun MoU Helsinki, sesungguhnya bukan memperingati tanggal 15 Agustus saat ditandatangani MoU Helsinki tersebut. Tetapi hal terpenting saat ini dan ke depan, bagaimana kita semua dengan solid mewujudkan isi MoU itu. Bahkan, kondisi Aceh yang telah membaik ini kita tingkatkan. Mari kita tekan angka kriminalitas dengan berbagai cara. Masyarakat tidak terprovokasi atas ajakan negatif, merupakan langkah awal untuk memelihara kamtibmas itu. Para petinggi organisasi dan pejabat pemerintahan yang mampu menahan diri dalam berkomentar, juga menjadi modal dalam memelihara kondisi Aceh tersebut. Jangan saling menuduh. Hindari saling curiga. Mari terus bergandengtangan untuk membangun. Mari berbuat sesuatu yang terbaik untuk membangun Aceh, melalui profesi masing-masing di segala bidang. Sekali lagi, pelihara kondisi Aceh dan kendalikan diri dari pernyataan yang mungkin menjadi pemicu konflik. ****
http://analisadaily.com/0-7.htm

Pemulihan Aceh Bisa Jadi Model, Kata Pejabat PBB

Banda Aceh, 9/7 (ANTARA) - Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia, El Mustafa Benlamlih, mengatakan perkembangan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami bisa menjadi model bagi negara lain.
"Aceh mengalami perkembangan luar biasa terutama dalam bidang rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami dan ini tidak terjadi di negara lain yang mengalami musibah serupa," katanya usai pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, di Banda Aceh, Rabu.
Menurut Mustafa, dalam waktu belum genap tiga tahun pasca-konflik dan tsunami Aceh mengalami perkembangan yang luar biasa dan ia mengaku belum pernah menemukan negara yang begitu cepat bisa bangkit kembali seperti Aceh.
Mustafa mengadakan pertemuan dengan Wagub Muhammad Nazar, Kepala Bapel Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto serta Walikota Banda Aceh Mawardy Nurdin dalam kunjungan selama tiga hari di Aceh.
Dia mengatakan ditandatanganinya kesepakatan (MoU) damai Helsinki menjadi salah satu faktor pendorong Aceh cepat bangkit kembali, sementara di wiayah lain yang juga terkena tsunami seperti Sri Lanka pembangunannya sangat lambat karena donatur tidak berani masuk sebab masih adanya konflik internal.
Pada kesempatan itu, Wagub Muhammad Nazar menyampaikan terima kasih atas sumbangsih negara donor di bawah koordinir PBB, dan ia mengharapkan negara yang selama ini melakukan aksi kemanusiaan tetap di Aceh untuk berinvestasi di bidang ekonomi.
Wakil PBB untuk Indonesia selama kunjungan ke Aceh akan melihat apa yang dapat dibantu untuk perbaikan daerah yang dijuluki Serambi Mekah itu di masa mendatang. (*)
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/1...a-pejabat-pbb/

Sabtu, Agustus 02, 2008

hikayat bangsa kuli


Bangsa Kuli

“the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations”, Soekarno pernah pesimistis

Berbagai penulis menyebut ucapan eine nation von kuli und kuli under den nationen itu aslinya dilontarkan oleh helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah emil atau theodor helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Emil dan theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kemudia kebun teh tersebut di ambil belanda, jepang, dan terakhir dikembalikan kembali ke Jerman oleh tentara pendudukan Jepang.

Pledoi soekarno mencoba menjelaskan memang imperialism belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh, agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang dipercaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan menjadi kenyataan. Menurut Hatta, dikutip oleh menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai oleh Hatta sebagai “kerusakan social” akibat penindasan VOC dll.

Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, diperkosa sebagai tenaga kerja diluar negeri. Kisah dramatis yang dialami oleh Nirmala Bonat hingga Cerihayati seperti tidak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun kedepan.

Apa sebab? Jawabannya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang penah tercantum dalam buku teks ekologi fundamental of ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an. “ suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem disekitarnya yang kurang tertata” implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang.

Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi dan kemampuan sumberdaya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diberdaya, dieksploitasikan oleh individu yang licik dan culas. Para TKI, menjadi sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi dan deplu), hingga majikan yang begis.

Seperti halnya juga dengan kekayaan hutan, tambang dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik didalam maupun diluar negeri

Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai Negara dan bangsa yang merdeka perlu kita gugatlagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa-bangsa lain.