Hikayat Fir

Kamis, November 27, 2008

Malahayati adalah Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

Pada peringatan hari Kartini, biasanya dirayakan dengan gegap gempita mirip karnaval. Maka akan ada bapak-bapak berlomba masak atau bertanding sepakbola dengan memakai pakaian perempuan, ditingkahi sorak sorai atau kikik geli para istri. Ada pula keriaan lain yang berkonotasi “pekerjaan perempuan”. Ada pula yang merayakan hari kelahiran Kartini itu dengan cara lain. Dengan diskusi peran perempuan misalnya, atau pertunjukan ini itu oleh perempuan. Meriah banget. Kartini memang punya tempat khusus dalam sejarah Indonesia. Kumpulan kata-kata dalam surat-suratnya telah mengangkat Kartini menjadi figur pahlawan. “Pendekar kaumnya untuk merdeka”, begitu penggalan lirik pada lagu yang diciptakan untuknya. Perempuan hebat dia tentunya. Lhaaa, bicara soal perempuan hebat, saya lantas ingin bercerita sedikit tentang sosok perempuan lain, yang berbeda generasai dari Kartini. Perempuan yang untuknya tidak ada lagu pujian. Laksamana perempuan pertama di indonesia, Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Laksamana Malahayati.
Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis). Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee. Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka. Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599. Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris. Tidak salah bila Laksamana Malahayati juga telah ditetapkan sebagai salah satu pahlawan perempuan Indonesia sebagai jasanya membela tanah air. Dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan perempuan telah dilakukan sejak jaman dahulu kala. Hal ini dibuktikan dari adanya sejarah yang bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat dijadikan sebuah semangat untuk membangun jiwa perempuan yang kuat dan berkarakter...(Semoga..??)
Sebagai kesimpulan dari tulisan singkat ini, sejarah telah mencatat, bahwa Indonesia (Aceh) pada
abad ke 16 telah melahirkan seorang tokoh emansipasi wanita tidak sekedar dalam teori tetapi juga dalam kenyataannya telah membuktikan kemampuan seorang wanita yang menjadi pemimpin dan bahkan juga komandan pasukan. Sebagai seorang Komandan Armada Laut, komandan Pasukan Inong Balee dan seorang diplomat yang ulung, Keumalahayati akan terus dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia akan tercatat sebagai seorang tokoh wanita yang patut dibanggakan tidak saja bagi rnasyarakat Aceh, tetapi juga menjadi kebanggaan seluruh bangsa Indonesia. Sekali lagi, wanita ini adalah kebanggaan bagi seluruh bangsa indonesia. Laksamana Malahayati …. grande dame (perempuan yang agung). Pahlawan emansipasi yang terlupakan (but not in our mind). Mohon maaf kalau banyak kekurangan. Wass, Wr,Wb.

Peristiwa Cornelis de Houtman
Sejarah mencatat bahwa dalam pelayarannya yang pertama 4 buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de houtman pada tanggal 22 Juni 1596 berlabuh di pelabuhan Banten. (Solichin Salam, 1987 : 2). Setelah kembali ke negeri Belanda, dalam pelayarannya yang kedua armada dagang Belanda yang dipersenjatai seperti kapal perang menghadapi kontak senjata dengan Kerajaan Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda. Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Kerajaan Aceh sehingga dijadikan sebagai penterjemah Sultan. Akibat hasutan tersebut, Sultan menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih berada di kapal. Kebetulan yang menjadi pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dan Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (Van Zeggelen, 1935 :157; Davis dalam Yacobs, 1984 : 180; Tiele, 1881 : 146-152). Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu- Belanda pertama dan tertua di Nusantara. Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie", hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut : DI kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang, kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.

Panglima Armada Inong Balee
Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh kalena itulah maka Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan “Srikandi dari Aceh”. Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang terkenal sakti dalam Perang Baratayudha. Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, maka Pandawa berhasil menghancurkan tentara Korawa. (Nyoman S. Pendit, 1970 : 189; I Made Purna, 1994 : 54-61). Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur. Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Mengingat Keurnalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima armada dan diangkat menjadi Laksamana. Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan Ma)ahayati. Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000 orang. Tambahan personil ini bukan lagi jandajanda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. (A. Hasjmy, 1980: 3). Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan Al Mukammil saja. (J. Davis dalam Jacobs, 1894 : 185). Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). Setelah Keumala Hayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada saat berkuasa, usia Sultan sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap, 1862 : 12). Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang dianggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana. Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin karena kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai Laksamana. Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai "dewan rahasia" istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai "geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935). Setelah memangku jabatan sebagai Laksamana, Keumala Hayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galay milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumala Hayati menjadi Laksarnana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan gajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapalkapal yang dimiliki bangsa Eropa. (Braddel, 1851 : 19).

Riwayat Masa Remaja Laksamana Keumalahayati
Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto, 1989 : 414). Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33). Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima Angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Keumalahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, RanAkang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan. Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut. Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya, tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk dilakukan. Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Keumalahayati berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut. Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya. Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhinnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.

Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja …
nama kapal perang. KRI Malahayati (satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah)
Bahkan lukisannya diabadikan di Museum Kapal Selam Surabaya.


Kepustakaan
Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 19. Jakarta: Puslit Arkenas, Depdikbud
——————–,1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Puslit Arkenas
Hasjmy, A, 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang
——————–, 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang
Jamil, M Yunus, 1959. Gajah Putih. Banda Aceh: Lembaga Kebudayaan Aceh
Mann, Richard, 2004. 400 Years And More of The British In Indonesia. London: Gateway Books International
Perret, Daniel dan Kamarudin AB. Razak, 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah Johor. Selangor: Yayasan Warisan Johor dan EFEO
Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Soekmono, R, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta: Kanisius
Tim, 1978. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Tim P3SKA, 1998. Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA).
Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud

Senin, November 17, 2008

Hikayat Sang Wanita Perkasa itu...

160 Tahun silam 1848, di pelosok aceh tepatnya diLampadang, Aceh Besar lahir seorang wanita yang diberi nama Cut Nyak Dhien. Beliau wafat/dimakamkan di Gunung Puyuh pada 6 November 1908 Sumedang, Jawa Barat. adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.Kehidupan AwalCut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ayahnyabernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18, dimana Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Karena itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien adalah keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga<3><2>, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.Perlawanan saat Perang AcehPada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:“ Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?.”Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi
perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan. Dan Kohler tewas tertembak pada April 1873.Namun pada perang kedua (1874-1880), dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten. Daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak
Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875, dimana suaminya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Namun, Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Tadinya Cut
Nyak Dhien menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang. Cut Nyak Dien akhirnya menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Pada saat Perang ketiga (1881-1896) meletus, perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi''sabilillah. Hal buruk terjadi untuk Aceh, Teuku Umar mulai mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Cut Nyak Dhien dan rakyat Aceh khawatir akan hal ini, sampai Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Tapi, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Dan juga, pada saat orang Belanda datang ke rumahnya, Cut Nyak Dhien selalu menyingkir dari situ. Lalu pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu, Belanda memberi Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Teuku Umar mengikuti perintah Belanda dengan merebut daerah pejuang Aceh. Namun, akhirnya Teuku Umar menunjukan bahwa dia hanya
menipu Belanda dalam sandiwara untuk mendapatkan senjata-senjata dengan mengkhianatinya saat ia dan pasukannya diberi senjata oleh Belanda. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Akibat dari penghianatan ini, Belanda mencabut gelarnya dan membakar rumahnya. Dan Belanda terus mengejar keberadaannya, sampai Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Karena hal ini, Cut Nyak Dien memimpin pasukan pada usianya yang ke 50 tahun melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir).Pada Perang keempat (1896-1910), Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya. Tetapi, tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok. Selain itu jumlah pasukannya terus berkurang, dan sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Sehingga, salah satu pasukannya bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba. Lalu, segera, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien. Sebelum ditangkap, Cut Nya Dien mengambil rencong dan hendak membunuh Pang Laot dengan rencong, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda.MeninggalSetelah tertangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan ia dirawat disitu. Penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Namun, karena Belanda takut kehadirannya membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal dan akhirnya ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Akhirnya pada tanggal 6 November 1908, ia meninggal karena usianya yang sudah tua. Karena perjuangannya, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964.